Aku merenung memandang asap yang mengepul dari secangkir cokelat yang belum kusentuh sama sekali itu. Asap tersebut sebenarnya mengingatkanku padamu, karena filosofiku tentangmu sama seperti asap itu. Perlahan namun pasti, kau akan menghilang setelah muncul walau hanya sejenak.


Aku tersenyum pahit. Jarak selalu menjadi masalah kita, ya?

Awal berpacaran, kita yang semula berada di sekolah yang sama terpaksa berpisah karena sekolah lanjutan yang kita pilih berbeda. Selanjutnya, kau pindah ke kota lain di saat menginjak jenjang universitas. Jarak kita kian menjauh seiring dengan waktu yang berjalan. Hanya saja, ikatan kita tidak merenggang layaknya jarak kita. Entah kenapa.

Tapi... takdir selalu saja berkata lain.

Kali ini adalah jarak terakhir yang akan memisahkanku denganmu. Jarak terdekat namun terjauh, yang sudah mustahil lagi aku lewati agar dapat bersamamu, kecuali dengan cara paksa.

Kini kita sudah berbeda alam.

Lagi-lagi aku tersenyum pahit, memandangi asap yang mengepul dari secangkir cokelat yang belum kusentuh sama sekali itu. Tangan kananku meraih sebuah bungkusan berisi bubuk putih, lalu perlahan kubuka bungkusan tersebut, dan kutuangkan ke dalam cokelat. Sendok yang sedari tadi teronggok di sisi kanan cangkir pun kuraih, lalu kucelupkan ke cangkir dan kuputar-putar.

Perlahan namun pasti, bubuk tersebut larut ke dalam cokelat. Aku tersenyum tulus kali ini.

Sebentar lagi, aku akan menghapus jarak yang selalu menghantui kita.

Aku pulang, sayang.

.
.

#FF2in1
theme: Long Distance - Bruno Mars

Labels: flash fiction